Solat Dua Hari Raya Vs Solat Jumaat

UNTA DAN KAMBING DI HADAPAN ASRAMA DARUL IMAN YANG BAKAL MENJADI KORBAN PADA HARI RAYA KEDUA
BERGAMBAR BERSAMA SAHABAT-SAHABAT SETELAH SELESAI SOLAT HARI RAYA DI SUUQ SAYARAT, HAYYU ASYIR, KAHERAH.

Assalamualaikum dan Selamat Hari Raya Eidul Adha...Kullu 'Aam Waantum Bikhair..
Alhamdulillah tahun ini ana memilih untuk menyambut hari raya korban di Bumi Kaherah sahaja, bukan seperti kebiasaanya iaitu di Bumi Dumyat yang tercinta. Sudah pastinya kerana ana kini bukan lagi bergelar mahasiswa al Azhar cawangan Dumyat kerana telah menamatkan pengajian di sana baru2 ini (tepatnya lagi kerana sudah tidak ada rumah sewa sendiri di sana..huhu..sedih2...). Walau apa pun timbul satu persoalan dari salah seorang sahabat ana pada malam raya tersebut...soalannya lebih kurang berbunyi : Adakah boleh kita meninggalkan solat Jumaat kerana telah menunaikan solat hari raya pada pagi hari Jumaat tersebut?

Seingat ana sudah dua kali dalam hidup ana berlakunya peristiwa jatuhnya dua hari raya pada hari Jumaat. Namun, sukar untuk ana menerangkan kepada sahabat tersebut dalil2 yang berkaitan masalah tersebut walaupun sudah maklum ada pendapat yang memberi keringanan untuk meninggalkannya (kerana pernah diterangkan oleh ayah ana semasa masih kanak2 dahulu..tapi dah lupa la..) Oleh itu ana mengambil sedikit masa untuk membuka laman web Darul Ifta' Al Misriyyah dan alhamdulillah memang ada fatwa berkenaaan masalah tersebut di situ...Jadi ana terus copy paste untuk tatapan sahabat2 yang ana kasihi sekalian (dalam terjemahan bahasa Indonesia) sepertimana berikut :

Permasalahan yang ditanyakan merupakan satu masalah yang menjadi perbedaan pendapat para ulama. Perbedaan ini berangkat dari perbedaan mereka dalam menshahihkan hadits dan asar seputar masalah ini dalam satu sisi, dan makna yang dimaksud olehnya dalam sisi lain.

Di antara hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa`I, Ibnu Majah dan Hakim dari Iyas bin Abi Ramlah asy-Syami, dia berkata, "Saya melihat Mu'awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam r.a., "Apakah ketika bersama Rasulullah saw. engkau pernah menjumpai dua hari raya bertemu dalam satu hari?" Zaid bin Arqam menjawab, "Ya, saya pernah mengalaminya". Mu'awiyah bertanya lagi, "Apa yang dilakukan Rasulullah saw. ketika itu?" Dia menjawab, "Beliau melakukan shalat Ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jumat. Beliau bersabda, "Barang siapa ingin melakukan shalat Jumat maka lakukanlah."

Juga hadits riwayat Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, "Pada hari ini telah bertemu dua hari raya. Barang siapa tidak ingin menunaikan shalat Jumat, maka shalat Ied ini sudah menggantikannya. Sedangkan kami akan tetap menunaikan shalat Jumat." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Hakim).

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan shalat Ied tidak mengakibatkan gugurnya kewajiban shalat Jumat. Mereka berdalil dengan keumuman dalil kewajiban shalat Jumat untuk seluruh hari. Di samping itu shalat Jumat dan shalat Ied adalah ibadah yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak bisa saling menggantikan. Di sisi lain hadits dan atsar tentang keringanan untuk tidak menunaikan shalat Jumat tidaklah kuat untuk mengkhususkan hadits tentang kewajiban shalat Jumat tersebut, karena di dalam sanadnya terdapat masalah. Ini adalah mazhab Hanafi dan Maliki.

Sedangkan Imam Ahmad berpendapat –dan ini adalah salah satu pendapat dalam Mazhab Syafi'i— bahwa kewajiban shalat Jumat menjadi gugur bagi orang yang menunaikan shalat Ied, namun orang itu tetap wajib menunaikan shalat zhuhur. Hal ini juga berdasarkan hadits dan atsar yang telah disebutkan sebelumnya.

Adapun jumhur ulama –termasuk Imam Syafi'I dalam pendapatnya yang paling shahih—berpendapat wajibnya shalat Jumat bagi orang-orang yang tinggal dalam kawasan yang di dalamnya dilaksanakan shalat Jumat dan gugur dari orang-orang yang tinggal di daerah pedalaman yang syarat-syarat kewajiban shalat Jumat terealisasi pada mereka. Karena mewajibkan mereka untuk menunaikan shalat Jumat setelah shalat Ied dapat menyebabkan kesulitan bagi mereka. Dalil jumhur ulama adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatha` bahwa Utsman bin Affan r.a. berkata dalam khutbanya, "Sesungguhnya pada hari ini telah bertemu dua Ied. Maka orang yang tinggal di daerah gunung jika ingin menunggu pelaksanaan shalat Jumat maka hendaknya dia menunggu, sedangkan orang yang ingin kembali ke rumahnya maka aku telah mengizinkannya."

Perkataan Utsman ini tidak ditentang oleh seorang sahabat pun, sehingga dianggap sebagai ijmak sukuti. Berdasarkan penjelasan Utsman inilah jumhur ulama memahami hadits keringanan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat bagi orang yang telah melakuan shalat Ied.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka selama masalah ini merupakan masalah khilafiyah maka ia bersifat lapang, dan tidak sepatutnya seseorang membenturkan pendapat satu mazhab dengan pendapat mazhab yang lain. Dengan demikian, shalat Jumat tetap dilaksanakan di masjid-masjid, sebagai pengamalan terhadap hukum asalnya dan sebagai suatu kehati-hatian dalam pelaksanaan ibadah. Dan barang siapa yang kesulitan untuk menghadiri shalat Jumat atau ingin mengambil rukhshah dengan mentaklid pendapat yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat karena menunaikan shalat Ied, maka dia boleh melakukannya dengan syarat dia tetap melakukan shalat zhuhur sebagai ganti dari shalat Jumat. Juga dengan tidak menyalahkan orang yang menghadiri shalat Jumat, mengingkari orang yang menunaikannya di masjid-masjid atau memicu fitnah dalam perkara yang di dalamnya para salaf saleh menerima adanya perbedaan pendapat.

Adapun gugurnya shalat Zhuhur karena telah dilaksanakannya shalat Ied maka pendapat yang diambil oleh jumhur ulama baik dahulu maupun sekarang adalah bahwa shalat Jum'at jika gugur karena suatu rukhshah (keringanan), uzur atau terlewatkan waktunya maka harus dilaksanakan shalat Zhuhur sebagai gantinya. Sedangkan Atha' berpendapat bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur dianggap gugur karena telah dilaksanakannya shalat Ied. Dalil yang digunakan oleh Atha' adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, "Ibnu Zubair r.a. melaksanakan shalat Ied yang jatuh pada hari Jum'at pada awal siang (pagi hari) bersama kami. Lalu kami pergi untuk melaksanakan shalat Jum'at, namun ia tidak datang. Akhirnya, kami pun melaksanakan shalat sendiri. Ketika itu Ibnu Abbas r.a. sedang berada di Thaif. Ketika ia datang, maka kami menceritakan hal itu. Beliau pun berkata, "Ia telah melaksanakan sunnah."

Hanya saja riwayat ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil karena memiliki kemungkinan makna yang lain. Sebuah dalil yang mengandung berbagai kemungkinan menjadi batal nilai kedalilannya. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Ibnu Zubair tidak melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya. Bahkan penjelasan Atha' bahwa mereka melaksanakan shalat sendiri (shalat Zhuhur) mengisyaratkan bahwa tidak ada yang mengatakan bahwa shalat Zhuhur menjadi gugur. Pendapat ini mungkin dapat ditafsirkan sebagai mazhab yang berpendapat kebolehan melaksanakan shalat Jum'at sebelum tergelincir matahari (zawal). Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad. Bahkan diriwayatkan dari Atha' sendiri, dimana ia pernah mengatakan, "Setiap shalat Ied dilaksanakan ketika telah masuk waktu Dhuha: shalat Jum'at, Iedul Adha dan Iedul Fitri." Penafsiran ini diperkuat oleh riwayat Wahb bin Kaysan yang diriwayatkan oleh Nasa`i: "Dua Ied telah berkumpul pada masa Ibnu Zubair. Maka ia pun mengakhirkan keluar rumah hingga siang semakin tinggi. Ia lalu keluar dan berkhutbah serta memanjangkan khutbahnya. Lalu ia turun dan melaksanakan shalat lalu tidak melasakanakan shalat Jum'at bersama masyarakat." Sebagaimana diketahui bahwa khutbah Jum'at dilaksanakan sebelum shalat, sedangkan khutbah Ied dilaksanakan setelah shalat. Oleh karena itu, Abul Barakat Ibnu Taimiyah berkata, "Penjelasannya adalah bahwa ia memandang kebolehan mendahulukan shalat Jum'at sebelum tergelinciri matahari. Zubair mensegerakan shalat Jum'at dan menjadikannya sebagai pengganti shalat Ied."

Ditambah lagi bahwa syariat tidak pernah menjadikan shalat fardhu empat kali dalam keadaan apapun, bahkan dalam keadaan sakit parah atau di tengah-tengah pertempuran. Shalat fardhu tetap dilaksanakan lima kali sebagaimana ditetapkan dalam dalil-dalil qath'I, seperti sabda Rasulullah saw. kepada seorang Arab badui yang bertanya tentang kewajiban Islam,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ

"Lima shalat dalam sehari semalam." (Muttafaq alaih dari hadits Thalhah bin Ubaidillah r.a.).

Nabi saw. juga pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal r.a. ketika mengutusnya ke Yaman,

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ

"Beritahulah mereka bahwa Allah 'azza wa jalla mewajibkan mereka melakukan shalat lima kali dalam sehari semalam." (Muttafaq alaih dari hadits Ibnu Abbas r.a.).

Rasulullah saw. juga bersabda,

خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ

"Lima shalat yang diwajibkan Allah kepada para hamba-Nya." (HR. Malik, Abu Dawud, Nasa`I dari hadits Ubadah bin Shamit r.a.).

Dan masih banyak lagi dalil yang menjelaskan mengenai hal ini. Jika shalat fardhu tidak dapat gugur dengan melaksanakan shalat fardhu lainnya, maka bagaimana mungkin dapat gugur dengan melaksanakan shalat Ied yang hukumnya hanyalah fardhu kifayah dalam skala komunitas dan sunah dalam sekala pribadi?

Syariat Islam telah mewajibkan shalat lima waktu ini dalam keadaan, tempat, person dan keadaan apapun, kecuali yang dikecualikan seperti wanita haid dan nifas. Bahkan, ketika Nabi saw. menjelaskan lama hidup Dajjal di dunia, beliau bersabda,

أَرْبَعُوْنَ يَوْماً، يَوْمٌ كَسَنَةٍ، وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ، وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ، وَسَاِئُر أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ

"Empat puluh hari. Satu hari seperti setahun, satu hari seperti sebulan dan satu hari seperti satu jum'at. Sisa hari-harinya seperti hari-hari kalian."
Para sahabat bertanya, "Pada hari yang seperti setahun itu, apakah kita cukup melaksanakan shalat satu hari saja?" Beliau menjawab, "Tidak. Tapi perkirakan kadar waktu-waktu shalat itu." (HR. Muslim).

Ini adalah nash bahwa shalat fardhu tidak dapat gugur pada keadaan atau waktu apapun.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa shalat Jum'at dan Zhuhur menjadi gugur dengan melaksanakan shalat Ied adalah tidak dapat dipegangi karena kelemahan dalilnya dalam satu sisi dan karena ketidakpastian penisbatan pendapat ini kepada ulama yang mengatakannya.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

p/s : dipetik dari : http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?LangID=1&ID=1401&LangID=5

Usrah dan Matlamat..kita di mana??!

Salam ukhuwwah dan salam perjuangan...
Alhamdulillah akhirnya ana diberi peluang oleh Allah untuk menitipkan kalam dalam blog yang tidak seberapa ini yang kalau boleh diambil istifadah untuk kegunaan kita dalam kehidupan seharian. Sebelum itu ana ingin memohon maaf kerana sudah lama tidak ada kesempatan untuk mengupdate blog ini kerana terpaksa menguruskan beberapa hal peribadi termasuklah menjadi adhoc program HPS di KPT dan menguruskan shahadah (sijil) di Dumyat baru-baru ini. Tambahan pula ana dilanda demam dan pening2 beberapa hari sebelum pulang ke Dumyat. Oleh kerana urusan shahadah perlu segera diselesaikan (untuk urusan taqdim Master pula), badan yang terasa amat berat terpaksa diheret juga ke sana. 'Ala kulli hal bersyukur ke hadrat Ilahi kerana semuanya berjalan dengan lancar dan urusan dipermudahkanNya serta demam juga semakin pulih selepas 3 hari di sana. Sebaik sahaja tiba dari bumi Dumyat yang amat sejuk berbanding Kaherah (buktinya ana terus selsema apabila menjejakkan kaki di sana..huhu..maklumlah dah lame tak balik Dumyat..)ana dimaklumkan agar menjalankan usrah tahun satu KPT bermula minggu ini.

Dalam keadaan yang kurang bersedia (kerana baru pualang dari Dumyat) ana terus menjalankan amanah tersebut selepas soalat Isyak Jumaat malam tersebut. Mujurlah sesi pertama usrah biasanya hanya berlegar sekitar taaruf ahli usrah dan beberapa perbincangan berkaitan dengan silibus usrah serta perlantikan ketua usrah sahaja. Alhamdulillah semuanya berjalan dengan baik memandangkan adik2 tahun satu di KPT tahun ini cukup matang dan sudah biasa dengan usrah di sekolah masing-masing. So, nampak mereka tidak kekok berada bersama-sama dalam liqo' usrah yang dibentuk oleh Biro Dakwah KPT tersebut walaupun ada di antara mereka berlainan sekolah asal dan bidang pengajian. Beberapa nasihat ana cuba selitkan dalam liqo' pertama ini termasuklah kepentingan usrah dalam kehidupan seharian, keperluan untuk bermujahadah dalam menuntut ilmu di kuliah dan kelas-kelas talaqi di samping perlu melaksanakan amal Islami dan amal Jamaie di Mesir ini.

kenangan bersama-sama ust fahmi dan ust sayuthi salleh dalam usrah ajkt DPMD 07/08 yang banyak mengajar erti perjuangan...

Ingin ana kongsikan sedikit dengan sahabat-sahabat naqib usrah berkenaan matlamat kita dalam berusrah. Antaranya ialah :
  1. untuk menghimpunkan ahli-ahli sesuatu jemaah (cthnya KPT sendiri) dalam satu kelompok kecil di bawah satu pimpinan atau naqib bagi memudahkan penyaluran bahan-bahan pengisian dan tarbiyah
  2. untuk mewujudkan ikatan kekeluargaan Islam di kalangan ahli-ahli sehingga mereka dapat merasakan satu hubungan dan ikatan secara langsung dengan jamaah
  3. untuk melatih ahli-ahli memahami dan mengenali kaedah bermuamalah dengan pimpinan/nuqaba' dan bentuk-bentuk muamalah yang betul dengan sahabat-sahabat seperjuangan
  4. untuk mengenal pasti secara detail dan tepat seluruh persekitaran yang mengelilingi ahli-ahli usrah seperti kefahaman, kemampuan, kelemahan, iltizam, masalah keluarga, kebajikan, kecenderungan, pemikiran dan sebagainya.
  5. untuk menyalurkan taujihat-taujihat dan thaqafah Islamiah secara kemas dan teratur (berdasarkan manhaj) kepada ahli-ahli usrah.
Apapun, usrah merupakan jalan yang terbaik untuk membentuk syakhsiah seseorang ke arah yang lebih baik dan untuk melahirkan seorang muslim yang sejati kerana ia telah diamalkan sejak zaman permulaan penyebaran agama Islam di Makkah lagi. Semoga amalan murni ini dapat diteruskan sehingga ke generasi akan datang dan dapat melahirkan insan yang betul-betul ikhlas dan memahami perjuangan Islam di atas muka Bumi ini. Allahu Akbar!!! Jom Usrah!!!

 

©2009 ~ibnuahmad addumyati~ | by TNB